Selasa, 29 Desember 2009

Sejarah Kepolisian

Suatu negara tanpa adanya aparat yang melaksanakan fungsi kepolisian, niscaya negara tersebut tidak akan mampu bertahan lama, karena pelanggaran hukum akan leluasa dan akhirnya negara tersebut runtuh. Oleh karenanya fungsi kepolisian pasti ada di setiap negara, termasuk negara Republik Indonesia.
Di Nusantara ini, sudah mulai sejak zaman kerajaan-kerajaan, baik Majapahit, Mataram, maupun kerajaan-kerajaan lain, juga telah melaksanakan fungsi kepolisiannya. Walaupun dengan nama yang beragam. Pada zaman kerajaan Majapahit, fungsi kepolisian telah dilaksanakan oleh satuan yang dinamakan Bhayangkara. Kesat¬uan ini mempunyai tugas : Satya haprabu, Hanyakan musuh, Gi¬neung Pratidina, Tansatrisna. Tugas tersebut kini menjadi Catur Prasetia, yang merupakan landasan kerja anggota Polri di lapan¬gan. Begitu juga pada kerajaan Mataram, fungsi kepolisian dilaksanakan oleh badan yang bernama Kabupaten Gunung Polisi, yang mempunyai tugas menjaga tata tertib dan ketenteraman di daerah-daerah kerajaan dan juga membantu mengurusi soal-soal pemerintahan.
Pada waktu Nusantara di jajah oleh Belanda, fungsi kepoli¬sian juga ada dengan bermacam-macam badan yang melaksanakannya antara lain : Algemene Politie (Polisi Umum), Gewapende Politie (Polisi Bersenjata), Veld Politie (Polisi Lapangan), Cultuur Politie (Polisi Lapangan), Bestuur Politie (Polisi Pamong Praja).
Mengingat mulai pentingnya tugas Polisi maka pemerintah Belanda mulai mengadakan pendidikan Polisi. Pendidikan yang pertama untuk Agen Polisi (Politie Agent) di Batavia, Semarang dan Surabaya pada tahun 1911. Kemudian dengan berkembangnya tugas kepolisian dengan proses pendidikan serta keadaan daerah pendidikan pindah ke Bogor kemudian di Sukabumi (tahun 1925).
Yang menarik untuk dipelajari adalah kepolisian pada zaman penjajahan Jepang. Pemerintahan kolonial Jepang saat itu memben¬tuk kepolisian secara nasional tidak seperti zaman Pemerintahan Hindia Belanda, yang terdiri dari berjenis-jenis kepolisian. Sedangkan organisasi tersusun secara regional dengan masing-masing mempunyai pusat-pusatnya, seperti :
1. Kepolisian untuk Jawa dan Madura berpusat di Jakarta.
2. Kepolisian untuk Sumatera berpusat di Bukittinggi.
3. Kepolisian Timur Besar berpusat di Makasar.
4. Untuk Kepolisian di kalimantan berpusat di Banjarmasin.
Dengan demikian, pada waktu itu telah ada jalur Komando yang jelas dan pusatnya masing-masing sampai ke Distrik. Di samping itu jumlah polisi yang diserah terimakan Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Jepang, sebanyak 31.620 orang yang terdiri dari 10 Hopkommisaris, 117 Komisaris Polisi, 13 Wedana Polisi, 63
Hopinspektur Polisi, 88 Assisten Wedana Polisi, 545 Inspektur Polisi, 1463 Mantri Polisi, 513 Hopagen, 154 Hopposhis komando, 2.582 Poshis komandan/ Reserse dan 26.073 Agen Polisi.
Kemudian setelah kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pada
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan hari kedua tanggal 19 Agustus 1945, ditetapkan Kepolisian Negara RI berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, dengan bentuk organisasinya adalah Jawatan kepolisian Negara RI. Setelah terbentuknya Kepolisian RI ini, dengan kegiatan yang menonjol pada waktu itu adalah ikut membela tanah air, atau ikut peran serta dalam melawan penjajahan (Jepang). Dan pada tanggal 1 Juli 1946 setelah Polri di bawah langsung Perdana Menteri, dijadikan hari Bhayangkara (hari ulang tahun Polri). Pada tahun 1945-1950 peran kepolisian dalam mempertahankan negara cukup menonjol, termasuk tanggal 10 November 1945 di Surabaya perlawanan terhadap tentara Sekutu yang dimotori Inggris. Dalam peristiwa tersbeut perlawanan yang mempelopori pasukan istimewa mampu melumpuhkan tentara Sekutu. dari peristiwa tersebut sekarang hari Pahlawan dan A.H. Nasution mengatakan bahwa tanpa adanya keberanian polisi istimewa terse¬but, tidak akan ada hari Pahlawan.
Pada kurun waktu 1950-1959 dimana diperlakukan UUDS tahun 1950 sebagai UU dasar yang bersifat Perlementer, kedudukan Polisi tetap di bawah Perdana Menteri. Pada kurun ini kejadian penting adalah lahirnya Pol Air (5 Desember 1950). Dinas telekomunikasi pada jawatan kepolisian negara (27 Oktober 1951), Pasukan Polisi Perintis (11 Maret 1952), Persatuan Istri Polri yang diberi nama Bhayangkari (19 Oktober 1952), Tri Brata sebagai pengikat disiplin bagi Mahasiswa PTIK (3 Mei 1954) yang selanjutnya sebagai landasan moral anggota Polri. Penetapan hari Kepolisian yang pertama kali (1 Juli 1955), Polisi Lalu Lintas (22 Agustus 1955), Polisi Udara (1Desember 1955), Labkrim (5 Juli 1955), NCB (16 Agustus 1956). Pada kurun inilah banyak tonggak sejarah yang merupakan perkembangan organisasi Polri yang cukup baik, yang kemudian berkembang menjadi kesatuan Polri yang berkembang mengikuti zamannya.
Untuk kurun waktu tahun 1950-1966 telah banyak tonggak sejarah yang sangat mewarnai kondisi Polri dewasa ini, yaitu Polri menjadi anggota ABRI, keluarnya UU Pokok Kepolisian No. 13 tahun 1961, Kepolisian tidak lagi di bawah Pimpinan Negara, tetapi di bawah Men Hankam/Pangab. Pada kurun waktu ini pula telah dibentuk atau diresmikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Kepolisian (Seskoak). Setelah Polri menjadi bagian ABRI, maka pembinaan dan operasionalnya dikendalikan oleh Pangak, dengan demikian perkembangan kepolisian berikutnya banyak dipengaruhi oleh ABRI tersebut. Dari tonggak sejarah ini perkembangan Polri mulai tahun 1966-1998, banyak kritik dilontarkan tentang efekti¬fitas Polri dalam ABRI.
PERLUNYA MEMAHAMI SEJARAH POLRI
Dengan melihat perkembangan kepolisian di Indonesia yang telah memberikan catatan sejarah untuk pertumbuhan negara Indone¬sia, khususnya penegakan hukum dan pembina kamtibmas, baik keber¬hasilan maupun kekurangannya, maka perlu sejarah kepolisian ini untuk dipelajari bagi anggota Polri, terutama bagi para siswa di lembaga pendidikan Polri di Indonesia. Keberhasilan yang pernah diraih dapat digunakan untuk dicontoh dan dikembangkan lagi guna pelaksanaan tugas yang akan datang. Sedangkan kekurangan atau kegagalannya dapat dipelajari penyebab kekurangan atau kegaga¬lannya, agar tidak akan terulang kembali kegagalan yang serupa.
Disamping itu para pelaku sejarah kepolisian di Indonesia perlu diketahui, siapa yang perlu untuk dijadikan sebagai suri teladannya, yang dapat memberi motivasi kerja bagi yang menela¬dani tokoh Polri pilihannya. Sangat ironis kalau sebagai anggota Polri mengidolakan tokoh sejarah non Polri, karena ketidak kakuannya.
Namun demikian buku sejarah ini masih bersifat pokok-pokokn¬ya saja, dan masih perlu dipelajari lagi buku-buku sejarah ten¬tang peristiwa-peristiwa khusus, tokoh khusus atau otobiografi tokoh kepolisian. Misalnya sejarah tentang: Otobiografi RS. Soe¬kanto, Awaloedin Djamin, Hoegeng Imam Santoso, dan lain sebagainya.

1 komentar: