Sabtu, 20 Maret 2010

Polisi Jujur

Copas dari milis TB Community:


Masih ingatkah pada Jenderal Pol (Purn) Drs. Hoegeng Iman Santosa (Alm)?

Beliau merupakan mantan Kapolri yang mendedikasikan dirinya demi sebuah arti kejujuran namun disingkirkan karena kejujuran.

Kisah klasik dari bangsa sebesar Indonesia. Kisah dimana setiap tokoh baik tidak akan menang melawan tokoh jahat dalam sebuah pentas. Menggelikan bukan. Tapi itulah realita yang terjadi dalam Negara ini, Hoegeng Iman Santosa adalah salah satu contoh Tokoh baik yang “mati” dalam cengkraman penguasa jahat yang tak menginginkan kekuasaannya terganggu oleh sifat jujur dari sang Kapolri.

Hoegeng yang lahir sebagai sulung dari pasangan Soekaryo Karyohatmodjo dan Oemi Kalsum di kota Pekalongan pada 14 Oktober 1921, sangat terkenal sebagai tokoh yang meneladani arti kejujuran. Sikap yang pada masa sekarang ini sangat sulit untuk ditemukan dalam system pemerintahan kita. Hoegeng lahir dalam latar belakang keluarga yang menekankan kedisiplinan dan ketaatan dalam beribadah.

Beliau kemudian tumbuh menjadi pribadi yang taat beribadah, disiplin, tegas dan menjunjung tinggi kejujuran.

Pada tahun 1968, Hoegeng dipercaya menjadi Kepala Kepolisian RI (1968-1971). Sebagai seorang Kapolri, Hoegeng semakin menunjukkan keteguhan prinsip hidupnya dengan tidak bisa ”dibeli” oleh siapapun.

Beliau bahkan melarang anggota keluarganya untuk menggunakan fasilitas Negara atau menerima hadiah dari orang lain dengan alasan apapun. Tak segan-segan Ia akan menyuruh hadiah tersebut untuk dikirimkan kembali kepada pengirimnya.

Salah satu kisah dari Hoegeng yang selalu menjadi inspirasi bagi saya adalah kisah ketika Hoegeng sedang naik Mobil Polri 1 dan jalanan sedang macet. Dengan tidak memperdulikan statusnya sebagai seorang Kapolri, Hoegeng langsung turun dari mobilnya dan bergegas berjalan ke perempatan untuk membantu petugas polantas yang sedang berusaha melancarkan kembali jalanan yang macet.

Beliau tidak hanya bersemboyan dan memberikan perintah namun juga senantiasa menjadi motivasi dan contoh langsung bagaimana menjadi polisi yang sebenarnya, yang setia pada dharma-nya membantu dan melayani masyarakat. Masih ada pejabat yang mau berbuat seperti itu?

Aneh Tapi Nyata, Happy Ending dari sebuah sikap mulia ternyata tak selamanya terjadi dalam kehidupan manusia. Justru karena sikapnya yang selalu menjunjung tinggi kejujuran, Hoegeng kemudian dilengserkan dari jabatan Kapolri.

Pada usia yang relative muda, 49 tahun, Hoegeng dipensiunkan sebelum waktunya. Ternyata banyak orang yang tidak senang dengan sikap “mulia” seorang Hoegeng.

Beliau bahkan pernah dituduh berkolusi dan nepotisme karena menggagas penggunaan Helm bagi pengendara sepeda motor. Gagasan yang kemudian terpakai hingga saat ini, namun orang-orang menganggapnya punya bisnis Helm pada saat itu.

Lepas dari jabatan Kapolri, secara otomatis Hoegeng kembali pada kehidupan sederhana. Beliau hanya memiliki rumah dinas, jasa dan prinsip kejujuran, tanpa harta yang cukup seperti layaknya seorang mantan Kapolri.

Bukan hanya itu saja, kisah sedih Hoegeng terus berlanjut dengan keluarnya larangan bagi Hoegeng untuk menghadiri setiap acara yang dihadiri oleh Presiden Soeharto, baik itu peringatan hari kepolisian, dan lain sebagainya.

Hoegeng merasa sangat terpukul dengan kenyataan tersebut sehingga mungkin menjadi salah satu penyebab beliau kemudian terkena stroke dan menghadap Yang Kuasa pada tanggal 14 Juli 2004.

Hoegeng, sebuah permata indah yang berusaha bersinar dalam kegelapan. Namun tak kuasa melawan hingga akhirnya harus redup dan meninggalkan kegelapan merajalela di bumi Indonesia. Kisah hidup Hoegeng adalah contoh bahwa masih ada kejujuran dalam hati setiap bangsa Indonesia. Jangan takut untuk menjadi pribadi yang jujur, meskipun kita harus terbuang dan tersingkir.

Biarlah satu Hoegeng dapat membangkitkan jutaan Hoegeng lagi, demi bangsa yang menjunjung tinggi kejujuran.