Rabu, 21 Oktober 2009

Intelijen gagap (repost)

Orang Indonesia sering masih tergagap mendengar kata "intelijen". Entah krn itu memang berasal dr kata serapan, atau krn ada latar belakang historis-kultural ttg makna kata2 itu. Intelijen memang jadi laga utama dalam perang dingin, dmn saat itu intelijen jg mengalami stigmatisasi internal di dalam perjalanan sejarah bangsa kita.

Padahal, intelijen memang harfiahnya adalah kodrat manusia. "Cogito ergo sum". Pemikiranku yang membuat eksistensiku diakui. Meski tak sepenuhnya tepat, hal ini bisa diterima dalam kasus orang yang gila dan anak2 kecil/balita. Mereka dianggap tidak lebih dr sekedar obyek penderita krn tak memiliki "cogito". Intelijen dan intelijensia bahkan mjd unsur utama berpikir, dan berpikir adalah yang mengangkat derajat manusia dr makhluk lainnya. Berpikir, menimbang, menerima informasi dan mempengaruhi orang lain dengan informasi itu, sejatinya telah berkembang dengan pesatnya.

Publik Indonesia masih kerap mengidentifikasi intelijen sebagai "alat" perang. Militeristik, tertutup, dan ekstra kolot. Padahal, zaman telah mengalami revolusi informasi, dimana open source sudah merajalela. Militer dan kelompok strategis masih menjaga feodalisme kekolotannya, padahal pada saat yang sama hampir seluruh masyarakat melakukan pekerjaan itu. Entah itu meneliti, mengamati, melakukan survei pasar, melakukan unras, mendidik siswa, menggosipkan sesuatu, dan banyak lagi kegiatan lain adalah bagian2 dr apa yg bs diberi label : pekerjaan intelijen.

Lalu apa yang membedakan intelijen "induk" yg militeristik dengan anaknya yang "open sourced"? Apa bedanya intelijen yg organized dan sporadic? Yang kovensional dan kontemporer. Yang membedakan adalah manajemen.

Kalangan akademis justru sudah lebih dahulu maju dengan memahami manajemen sistem informatika. Didalamnya, sangat kental dengan nuansa penyelidikan intelijen konvensional, bahkan lebih jauh dan lebih detail. Sampai menyentuh estimasi strategis yang merupakan inti organisasi intelijen.

Dalam hal pengamanan dan kontra intelijen, intelijen konvensional juga tergagap melawan kemajuan ilmu-ilmu sosial spt psikologi, antropologi, sosiologi, yang terus mengembangkan sayapnya menjadi kriminologi, manajemen bencana, dsb. Satu2nya kemajuan intelijen adalah perangkat khusus yang terkesan canggih padahal itu hasil rekayasa teknologi yang sudah berumur 5 tahunan. Di zaman perang dingin, 5 tahun adalah masa yang sebentar bagi kemajuan teknologi, tapi utk zaman ini, 5 tahun bisa menghasilkan puluhan jenjang teknologi. Bisa jadi Radio anda yang berumur 5 tahun, mgkn hrs masuk keranjang sampah jika rusak krn komponennya sudah tak diproduksi lagi.

Jadi kelebihan apa yang dimiliki insan intelijen konvensional-militeristik? Ya itu tadi, sikap OSS (oh so secret) dan pongah ditengah kepungan gajah; tetap optimis dengan apa yang ia hadapi padahal setiap saat ia bisa mati tergencet.

Weits, tunggu dulu. Ada titik cerah bagi mereka yang beragama. Masa depan tak bisa dideteksi spt jadwal kereta api, tak bisa ditolak seperti kuman. Tapi masa depan itu bisa dirangkai melalui tanda-tanda. Siapa yang bisa merangkai tanda-tanda itu, yang membaca tanda itu, lalu memahaminya, dialah yang mampu menguasai masa depan. Disanalah hati berperan: untuk apa dan mau apa, niat dari diri kita akan mempengaruhinya. Ketamakan, keserakahan, dan arogansi akan mengalahkan kecermatan dan keuletan; dan kita akan terjerumus dalam sebuah kehancuran. Sebaliknya semangat kebenaran, prioritas kepada keadilan, akan menuntun kita kepada keberhasilan. Dan semangat kebenaran serta keadilan ada pada agama.

Ayolah, bukan saatnya lagi mencetak uang sendiri. Bukan saatnya lagi membuang energi untuk suatu yang tak perlu. Insan intelijen adalah orang2 yang terbiasa membersihkan hati dari kepentingan, dan merangkai tanda-tanda dalam otaknya. Bukan moneymaker, bukan troubleshooter, bukan juga cape crusader. Siapapun bisa dilatih jadi jago tembak, ribuan orang rela berjibaku melakukan aksi penyelamatan spektakuler, gampang menjadi topeng yang gagah berani dan peran pahlawan yang bisa diandalkan. Tapi topeng itu takkan cukup kuat untuk mengingkari wajah lain yang berada dibaliknya, yang hanya diwakili sepasang mata yang menatap orang2 yang tak bisa melihat wajah dibalik topeng itu. Ia bisa segalanya karena ia adalah Descartes : "cogito ergo sum". "Aku berpikir, karenanya aku ada". Bukannya karena aku terlihat.