Senin, 25 Mei 2009

Penerimaan Taruna Akpol

Hayo buruan daftar jd taruna akpol. bagi yg berminat silahkan baca persyaratannya di bawah ini. smoga berhasil....



download syarat pendaftaran taruna akpol

Kamis, 21 Mei 2009

Apakah Polisi Indonesia Adalah Penjahat yang Berseragam?

Hukuman yang dijatuhkan kepada lima orang polisi dari Kepolisian Sektor Banjarsari, yang dinyatakan bersalah atas tindak penyiksaan terhadap Roni Ronaldo hingga menyebabkan kematian, yang dilakukan pada tanggal 20 November 2006, memberi bukti betapa tidak sempurnanya legislasi Indonesia mengenai penyiksaan. Bahkan, kenyataannya penyiksaan masih bukan merupakan tindak pidana, dan tidak ada penghukuman yang setimpal berdasarkan hukum Indonesia. Jika seorang warga biasa melakukan ‘penganiayaan’ terhadap seseorang hingga menyebabkan mati, dia dapat didakwa atas pembunuhan berencana dan ancaman pidananya bisa seberat hukuman mati, penjara seumur hidup atau dua puluh tahun penjara. Namun, ketika kejahatan yang sama dilakukan oleh aparat negara, pengadilan akan menjatuhkan hukuman yang ringan. Dalam satu kasus, sanksi disiplin yang sederhana telah dijatuhkan; dalam kasus meninggalnya Roni Ronaldo, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara mulai dari satu hingga dua tahun. Pertanyaan yang muncul dalam benak orang biasa adalah atas dasar apa pembunuhan terhadap seseorang oleh petugas berseragam berbeda dengan yang dilakukan oleh warga biasa?

Apakah penuntutan ditentukan untuk membawa pulang sesat pikir yang begitu menggelikan, bahwa ketika aparat penegak hukum melakukan pembunuhan, maka hal tersebut bukanlah pembunuhan melainkan “penganiayaan menyebabkan kematian” dan mereka layak mendapatkan hukuman yang ringan? Jika filosofi seperti itu yang diterima, maka para petugas tersebut seharusnya dianggap sebagai penjahat yang disewa negara saja. Apa yang harus dilakukan untuk mencegah petugas kepolisian menjadi penjahat berseragam? Apakah pembenaran tersebut datang dari fakta bahwa pembunuhan terjadi di dalam proses penyidikan yang pokok?

Dua contoh berikut menggambarkan adanya ancaman serius terhadap prinsip Aturan Hukum dan runtuhnya rasa etis antar pejabat pemerintahan. Contoh pertama adalah kasus pembunuhan brutal terhadap Tuan Suherman yang diduga dilakukan oleh polisi dan ‘penggeledahan’ kediamannya. Tuan Suherman telah ditangkap secara melawan hukum oleh Kepolisian Wilayah Kota Besar Medan, dan diduga disiksa serta ditembak mati. Kasus kedua adalah pembunuhan terhadap Tuan Marsudi Tri Wijaya, yang melibatkan pihak kepolisian yang sama dengan kasus pertama. Dalam kedua kasus tersebut, korban telah disiksa, ditembak mati dan diserahkan kepada anggota keluarga untuk dimakamkan. Sebelum penangkapan melawan hukum terhadap mereka dilakukan, kediaman mereka digeledah, dirampok, dan anggota keluarga mereka diancam, diculik, dan diduga dibunuh. Hingga hari ini kasus tersebut tidak terdengar lagi di permukaan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pemerintah Indonesia akan memilih sekelompok penjahat yang mendikte hukum atau sebaliknya, seperangkat aparat penegak hukum yang berkomitmen pada penghormatan terhadap Aturan Hukum dan penguatan institusi demokrasi.

Berdasarkan standar internasional, penyiksaan adalah kejahatan berat, dan kenyataannya bahwa tindakan seperti itu yang dilakukan oleh aparat mewakili pemerintah sangatlah tidak dapat diterima dan merupakan kebiadaban moral yang serius. Tingginya derajat yang melekat pada kejahatan itu berasal dari penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintahan untuk menekan tersangka, yang seharusnya dianggap tidak bersalah hingga dinyatakan demikian. Dalam sebuah negara yang menghormati Aturan Hukum, penghukuman seharusnya didasarkan pada hukum, setelah melalui proses peradilan yang adil dan tidak sebaliknya. Jika pemerintah memperbolehkan aparatnya untuk menegakkan hukum menurut mereka sendiri dan menyakiti masyarakat, kemudian apa kegunaan memiliki sistem peradilan dimana seorang tersangka dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah?

Penyebaran “kegunaan” penyiksaan di Indonesia sungguh di luar yang dapat dibayangkan. Namun, pertanyaan yang menarik adalah apakah ada mekanisme yang memungkinkan korban memperoleh sedikit saja keadilan. Sayangnya, walaupun pada kenyataannya Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan, tetap saja masih belum ada hukum yang melarang penyiksaan atau memberikan jalan hukum untuk menebus kesalahan.

Kasus Teguh Uripno adalah contoh lain yang menceritakan mengenai penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah dan sebuah ilustrasi tentang tragisnya ketidakberdayaan korban untuk mendapatkan pemulihan melalui proses hukum. Menyusul penangkapan terhadap Teguh Uripno sekitar pukul 11.00 WIB pada tanggal 20 April, keluarganya segera menuju Kepolisian Sektor Serpong. Ketika mereka meminta bertemu dengan Teguh Uripno, petugas kepolisian tidak memperbolehkan mereka untuk saling bertemu. Keesokan paginya, tanggal 21 April, keluarga Uripno kembali lagi, tetapi sekali lagi petugas kepolisian mencegah mereka untuk bertemu dia, tanpa memberikan penjelasan yang berarti. Sekitar pukul 15.30 WIB tanggal 21 April, perwakilan kepolisian mendatangi kediaman keluarga korban dan memberitahukan bahwa Teguh Uripno telah meninggal dunia ketika sedang dibawa ke rumah sakit. Saat di rumah sakit, pihak keluarga meminta untuk melihat jenazahnya dan menemukan sejumlah bekas luka pukul dan memar. Berdasarkan rekam medis, lengan korban telah patah dan tengkoraknya mengalami keretakan. Penyebab kematian adalah pemukulan benda tumpul pada bagian tengkorak.

Dilaporkan bahwa dua petugas kepolisian bernama Brigadir Satu Polisi Syarifudin dan Brigadir Satu Polisi Arifin, melakukan pemukulan sehingga menimbulkan luka serius terhadap korban ketika dia sedang berada dalam tahanan. Tujuh polisi lainnya, yang namanya masih dirahasiakan, dituduh atas kejahatan serupa karena mendiamkan terjadinya peristiwa tersebut. Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Resort Tangerang menyatakan bahwa mereka telah memulai penyidikan, namun hingga sejauh ini perkembangannya masih belum memuaskan. Sementara itu, keluarga Uripno telah memasukkan pengaduan secara resmi ke Komnas HAM, yang kemudian meminta agar penyidikan dilakukan atas kasus ini.

Kasus ini mengilustrasikan tragedi yang berulang. Faktanya, baik korban dan keluarganya harus pergi ke institusi yang sama, yakni kepolisian untuk memasukkan pengaduan mereka, dengan mengetahui bahwa tidak ada hukum yang mendukung pengaduan mereka. Mereka tahu benar bahwa para pelaku tersebut akan dapat melepaskan diri dan bahkan mendapatkan dukungan dan simpati dari sesama koleganya dari kepolisian. Dalam hal ketiadaan mekanisme untuk secara efektif menghukum tindak penyiksaan, korban dan keluarga korban hanya dapat mengajukan pengaduan ke Komnas HAM. Tetapi yang menjadi masalah adalah Komnas HAM hanya memiliki mandat untuk melakukan penyelidikan dalam kasus “pelanggaran HAM berat”. Kasus penyiksaan individual tidak masuk ke dalam kategori tersebut dan tidak dapat diselidiki. Akibatnya, sulit bagi para korban penyiksaan untuk menemukan cara mendapatkan pemulihan kembali, termasuk kompensasi, rehabilitasi dan penghukuman terhadap para pelaku. Satu kesimpulan yang setidaknya pasti bisa diambil adalah Indonesia merupakan sebuah negara yang memperbolehkan aparatnya melakukan penyiksaan terhadap orang lain dan menyangkal hak korban untuk mendapatkan pemulihan kembali untuk kejahatan seperti itu.

Pada tanggal 26 Juni, Asian Human Rights Commission ingin mengambil kesempatan pada Hari Internasional untuk mendukung korban penyiksaan, untuk mengingatkan Indonesia atas kewajiban yang dimilikinya, sebagai anggota Dewan HAM PBB, untuk mengamandemen peraturan yang ada dan menjadikan penyiksaan sebagai tindak pidana. Adalah hal yang mendesak bagi Indonesia untuk menyediakan pemulihan kembali yang layak bagi para korban, dan menghukum para pelaku sesuai dengan tingginya derajat kejahatan tersebut. Di samping itu, Komnas HAM harus diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan kasus-kasus penyiksaan individual dan langsung menyerahkan temuannya ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penuntutan. Hanya hal itulah kebijakan yang paling nyata yang dapat memberikan kontribusi untuk menghilangkan perasaan yang diterima secara umum bahwa “polisi adalah penjahat yang berseragam” dan pemerintah tidak serius berkomitmen untuk menjaga dan melindungi martabat setiap orang.

ini tulisan gw baca di internet. ya menurut gw emang msh banyak oknum2 polisi yg masih saja mlakukan kekerasan dlm upaya penyidikan. namun seiring tuntutan masyarakat agar polisi berbenah dlm hal pelayanannya, bentuk2 kekerasan dlm penyidikan mulai berkurang.

salah satu upaya agar polisi lbh manusiawi adalah dengan dihilangkannya budaya kekerasan dlm proses pembinaan taruna AKPOL. ya memang blm spenuhnya hilang tp saya yakin pasti bisa.

Rabu, 20 Mei 2009

Seminar Migrasi Gelap

beres sdh seminar tentang migrasi gelap dari IOM di Hotel Novotel. banyak ilmu yg didapat smoga menjadi bermanfaat di masa2 yg akan datang. sebelumnya gw udah ikutan seminar di JCLEC tentang People Smuggling slama 4 hari, ya itung2 ngelanjutin karena temanya masih seputar migrasi. tema ini emang lg naek daun karena makin banyak orang2 asing yg masuk negara kita sebagai transit sebelum menuju negara australia. celakanya, masyarakat kita, termasuk aparatnya masih banyak yg belum paham tentang masalah ini. ya..pada dasarnya bangsa kita nich bangsa yg ramah kepada orang asing jd welcome2 aje waktu ketemu dgn warga asing yg sebenernya adalah para imigran, apalagi klo ternyata mrk tdk didukung dokumen yg jelas alias imigran gelap. so, segera laporkan klo kamu2 ketemu ama warga asing yg aktifitasnya agak mencurigakan OK!!

Selasa, 19 Mei 2009

Persiapan Cuti taruna

klo gak ada masalah, besok siang para taruna bakalan melaksanakan cuti semester. emang rada sial buat kita para pengasuh gak bs ikutan cuti jg. apa daya atas kebijakan pimpinan ini harus kita laksanakan. yah...stidaknya pekerjaan agak berkurang slama taruna melaksanakan cuti.
mgkn malam ini gw harus cek kesiapan mereka, mulai dari barang yg akan dibawa maupun perlengkapan mereka yang akan ditinggalkan. walaubagaimanapun faktor keamanan pribadi wajib diperhatikan.

Minggu, 17 Mei 2009

Hobbi Games WE

kerjaan gw emang polisi tp bkn brarti gak punya hobbi. slain olahraga, maen PS2 game WE jd salah satu pilihan mengurangi kepenatan kerja. kbetulan banyak junior2 gw yg doyan game yg sama jd gak harus maen sendiri trus.
emang sich sering diblng kayak anak kecil, khususnya ama istri, tp bukannya di diri kita pasti ada sifat kekanak2an?? ya jd gpp slama niatnya untuk ngurangi rasa jenuh kerja terus seharian dan maennya pun gak stiap hari hanya pas lg gak ada kerjaan aja. jd gak apa2 kan klo gw hobbi maen WE....

Sabtu, 16 Mei 2009

Bobotoh Persib

walau gw polisi tp gak salah kan klo jd bobotoh Persib. toh gw jd bobotoh udah dari dl dari sejak era ajat sudrajat msh maen. walau apapun yg terjadi Persib tetap kudukung. skrng aja pas lg nulis nich posting, gw lg nonton Persib VS Persik. ya..smentara msh 1-0 buat Persik. tp mudah2an babak ke-2 bisa dibales. nah....mulai tuh babak kedua. see u again....

Prakata

harapan dan kenyataan sering kali berbeda. namun tanpa harapan kita sulit menciptakan kenyataan yang lebih baik. begitu banyak harapan tentang polisi tapi belum banyak kenyataan yang sesuai dengan harapan.
mudah-mudahan saya adalah salah satu dari sekian banyak polisi di Indonesia yang bisa jadikan harapan itu menjadi kenyataan.
maju terus polisi Indonesia!!